Senin, 23 April 2012

PRIORITASKAN KESEJAHTERAAN HAKIM INDONESIA

Hari-hari terakhir ini ini sebagian media massa, baik cetak maupun elektronik, diwarnai oleh pemberitaan dari para Hakim yang memperjuangkan tingkat kesejahteraannya, bahkan sempat tersiar kabar bahwa para “wakil” Tuhan tersebut akan mengambil sikap untuk mogok sidang apabila tuntutannya tidak dipenuhi. Kondisi ini tak pelak menjadi suatu fenomena yang sangat menarik untuk dicermati secara mendalam, karena Hakim yang selama ini dikenal sebagai “silent corp” secara spontan mengambil langkah yang cukup radikal. Meskipun hal seperti ini bukan yang pertama kali sejak republik ini berdiri dan pernah juga terjadi di negara lain, namun dapat dibayangkan yang akan terjadi seandainya sungguh-sungguh terjadi para Hakim yang merupakan figur sentral dari dunia peradilan melakukan aksi mogok sidang, di era reformasi seperti sekarang ini yang sangat mengharapkan nilai-nilai keadilan hakiki yang lahir dari berbagai Putusan Hakim. Apabila hukum dipandang sebagai sebuah sistem yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang saling mempengaruhi dan terkait antara satu dengan yang lainnya sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh, maka profesi Hakim dapat digolongkan sebagai subsistem yang merupakan komponen dari struktur sistem hukum yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengimplementasikan berbagai substansi hukum yang ada, termasuk namun tidak terbatas pada produk yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga formal, seperti legislatif, eksekutif dan judikatif. Selain daripada itu seorang Hakim juga harus bertanggung jawab kepada masyarakat, di mana berarti seorang Hakim semestinya memahami setiap living law dalam suatu masyarakat, bahkan melalui Putusan-Putusannya dapat dianggap sebagai peraturan atau hukum baru yang sesuai dan dapat diterima oleh masyarakat setempat, khususnya sekali bagi pihak-pihak yang berperkara. Namun yang terpenting Hakim harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, di mana artinya setiap Putusan yang diambilnya harus pula berdasarkan kebenaran dan keadilan dari Tuhan Yang Maha Esa. Demikianlah berat tugas dan tanggung jawab dari seorang Hakim dalam mengemban tugas profesinya sehari-hari. Namun sayangnya sudah terlalu lama negara ini menelantarkan kedudukan profesi Hakim Indonesia, sehingga tidak terlalu mengejutkan dengan sikap yang dilakukan oleh para Hakim beberapa waktu akhir belakangan ini. Penelantaran negara terhadap profesi hakim tampaknya telah mencapai titik kulminasi yang mengakibatkan para Hakim meradang dan habis kesabarannya. Pilihan hidup untuk berkarir menjadi seorang Hakim di Indonesia dengan segala tugas dan tanggung jawab yang berat itu, serta dikaitkan dengan kondisi negara yang ada sekarang ini tidaklah dapat dijadikan justifikasi untuk menghalangi para Hakim menuntut hak konstitusionalnya sebagai seorang Pejabat Negara, terlebih lagi apabila sampai adanya tudingan bahwa seseorang memilih Hakim sebagai profesi dalam hidupnya semata-mata karena mengharapkan “penghasilan lain” yang diperoleh secara melawan hukum. Pernyataan tersebut sungguh tidak etis dan tidaklah berlebihan jikalau dikatakan sebagai bentuk penistaan terhadap lembaga peradilan, khususnya para Hakim, karena apa yang menjadi aspirasi dan perjuangan dari para Hakim ini merupakan tuntutan terhadap implementasi Perundang-Undangan yang memang telah ada sebelumnya, sehingga bukanlah suatu tuntutan yang mengada-ada dan tidak berdasar hukum. Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman secara expressis verbis menentukan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi adalah Pejabat Negara yang melakukan Kekuasaan Kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang. Demikian pula Pasal 11 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian secara limitatif dan eksplisit telah menentukan bahwa Hakim pada semua Badan Peradilan adalah Pejabat Negara, dengan demikian artinya segala hak yang selama ini dinikmati oleh para Pejabat Negara, baik dari legislatif maupun eksekutif seharusnya diberikan pula kepada para Hakim pada saat menjalankan profesinya secara proporsional. Persoalan rendah dan kurang memadainya gaji serta tunjangan kepada para Hakim kerap diungkapkan sebagai pembelaan diri terhadap praktik suap di pengadilan. Keadaan seperti inilah yang tidak dapat dibiarkan berjalan secara terus-menerus dan harus segera diberantas. Langkah sigap dari Pemerintah dalam membentuk Tim Kecil guna membahas kenaikan gaji dan tunjangan bagi para Hakim patut mendapatkan apresiasi. Akan tetapi pembentukan dari Tim Kecil tersebut hendaknya bukanlah hanya bertujuan untuk meredam kondisi sesaat, tetapi juga harus segera diikuti dengan suatu hasil kerja yang nyata dan konkrit, serta mampu memenuhi aspirasi dari para Hakim. Hampir dapat dipastikan bahwa peningkatan kesejahteraan para Hakim hingga setara dengan pejabat negara lainnya akan berdampak positif pada cita-cita supremasi hukum di Indonesia, karena dengan terpenuhinya hak tersebut para Hakim akan lebih tenang bekerja dan menunjukkan profesionalismenya untuk menegakkan hukum dan keadilan melalui putusan-putusannya. Semestinya pemerintah harus lebih berani mengeluarkan anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan para Hakim yang merupakan the last resort bagi para pencari keadilan, daripada membentuk berbagai lembaga baru yang katanya juga didirikan untuk menegakkan supremasi hukum di negeri ini. Padahal jika kita memahami jabatan hakim, maka dapat dikatakan bahwa Hakim adalah jabatan tertua di dunia yang dapat dikatakan seumur dengan peradaban manusia. Namun sayangnya tidak banyak orang yang menyadari hal tersebut. Pada akhirnya, penulis berpandangan bahwa tuntutan peningkatan kesejahteraan Hakim di Indonesia merupakan harga yang tidak dapat lagi ditawar dan harus segera menjadi prioritas bagi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun apabila tuntutan kesejahteraan hakim tersebut telah dipenuhi, dan ternyata masih saja ada Hakim nakal yang ingin menerima suap dari pihak berperkara, maka terhadap hakim yang bersangkutan harus segera dipecat secara tidak hormat dan diadili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun terkait rencana aksi mogok sidang yang akan dilakukan oleh sebagian besar para Hakim di beberapa daerah, maka sementara menunggu hasil kerja dari Tim Kecil Pemerintah, dalam hal ini penulis menghimbau kepada rekan-rekan Hakim untuk tidak terlampau reaksioner melakukan hal demikian yang memang sesungguhnya bukanlah merupakan karakteristik dan perlambang dari profesi kita sebagaimana tertuang dalam Tri Prasetya Hakim Indonesia yang akan senantiasa menjunjung tinggi citra, wibawa dan martabat, serta berpegang teguh pada kode etik kehormatan Hakim Indonesia. (Telah dimuat pada Harian Suara Pembaruan, Hari Selasa, 17 April 2012)