Senin, 12 Juli 2010

KETIKA LEGALITAS JAKSA AGUNG DIPERSOALKAN

Perubahan terhadap UUD 1945 yang telah menghilangkan eksistensi GBHN dari sistem ketatanegaraan Indonesia dan tidak lagi menempatkan Presiden sebagai mandataris MPR, ternyata berdampak cukup signifikan terhadap struktur dan fungsi beberapa jabatan di dalam pemerintahan. Salah satu di antaranya adalah jabatan Jaksa Agung yang tidak lagi menjadi kewenangan mutlak Presiden. Ketentuan Pasal 17 UUD 1945 yang hanya mengamanatkan kepada Menteri Negara untuk membantu Presiden di dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan, mempertegas fakta bahwa Jaksa Agung bukanlah lagi merupakan bagian integral dari sebuah kabinet pemerintahan kontemporer guna mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan di dalam Preambule UUD 1945. Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, sama sekali tidak menentukan kedudukan Jaksa Agung sebagai bagian dari perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, maka dapat terlihat secara jelas posisi lembaga Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penyelenggara negara yang secara fungsional berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
Selaras dengan legaliteitsbeginsel yang merupakan pilar utama dari sebuah negara hukum yang demokratis, maka setiap wewenang pemerintahan haruslah berasal dari perundang-undangan yang dapat diimplementasikan melalui tiga cara, yaitu: atribusi, delegasi ataupun mandat. Mengaitkan antara ketiga bentuk wewenang pemerintahan tersebut dengan tugas dan wewenang Jaksa Agung yang saat ini terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, penulis berpandangan bahwa kewenangan yang telah diberikan kepada Jaksa Agung termasuk ke dalam ranah kewenangan atributif, in casu untuk memimpin dan mengendalikan pelaksanaan setiap tugas dan wewenang lembaga kejaksaan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Adapun masih terdapatnya kewajiban seorang Jaksa Agung memberikan laporan pertanggungjawaban kepada Presiden, maka hal tersebut haruslah dipandang sebagai suatu bentuk implementasi dari asas akuntabilitas yang merupakan salah satu asas umum dalam good governance.
Begitu pula dengan kedudukan dari seorang Jaksa Agung yang menurut Pasal 19 undang-undang Kejaksaan telah ditentukan sebagai pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden melalui sebuah Keputusan Presiden. Pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, nomenklatur sebuah “Keputusan Presiden” merujuk kepada suatu keputusan normatif yang berisi dan bersifat administratif (beschikking), dalam hal ini rechtsheppend beschikking yang menurut isi dan sifatnya dapat memberikan status kepada seseorang ataupun lembaga, sehingga berkompetensi untuk menerapkan aturan hukum tertentu.
Di dalam perspektif Hukum Administrasi Negara, pada dasarnya suatu beschikking harus dianggap sebagai keputusan yang sah menurut hukum dan oleh karenanya memiliki kekuatan eksekutorial, sampai dengan dilakukan pembatalan terhadap keputusan tersebut, baik oleh lembaga pembentuk keputusan itu sendiri dengan dilandaskan pada berbagai macam alasan yuridis, sosiologis dan filosofis, ataupun juga oleh lembaga lain yang memang telah diberikan kewenangan oleh Undang-Undang untuk menguji perihal keabsahan dari keputusan yang bersangkutan.
Secara konseptual, paling tidak terdapat empat syarat yang harus dipenuhi agar keputusan dapat berlaku secara sah, yaitu: dibuat oleh organ yang berwenang, tidak terdapatnya kekurangan unsur yuridis di dalam proses pembentukannya, harus diberi bentuk terhadap keputusan tersebut, dan terdapatnya persesuaian antara keputusan dengan peraturan yang secara hierarkhis melandasi terbitnya keputusan tersebut. Keempat hal ini tentunya berlaku pula bagi setiap keputusan tentang pengangkatan dan pemberhentian pejabat negara, termasuk Jaksa Agung. Selama tidak dapat ditemukannya pelanggaran terhadap keempat hal diatas yang menjadi prasyarat dalam membentuk suatu keputusan, menurut hemat penulis keputusan tersebut merupakan keputusan yang sah (rechtsgeldige beschikking) menurut hukum administrasi negara.
Dalam konteks keputusan tentang pengangkatan dan pemberhentian seorang Jaksa Agung, sepanjang belum dilakukannya pencabutan oleh institusi yang memang berkompeten untuk itu, ataupun ditemukannya suatu cacat, baik secara normatif prosedural ataupun substansial yang terdapat di dalam undang-undang organik Kejaksaan dan peraturan perundang-undangan lainnya, maka terhadap keputusan tersebut tidaklah dapat secara apriori dikatakan sebagai suatu keputusan yang tidak sah (niet-rechtsgeldige beschikking) dan mempersoalkan legalitas Jaksa Agung demi kepentingan subjektif belaka, sehingga dalam hal ini penulis berpendapat bahwa kedudukan Jaksa Agung sebagai seorang penjabat negara, tetap memiliki landasan hukum yang sah guna menjalankan setiap fungsi dan kewenangannya, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh undang-undang.

PERMA MENANTI REVISI UU NOMOR 10 TAHUN 2004

Internal Badan Legislasi DPR RI saat ini tengah membahas revisi terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang sejak tanggal 1 November 2004 menjadi pedoman dalam membentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selama kurang-lebih lima tahun sejak dilaksanakannya undang-undang tersebut cukup mengundang berbagai kontroversi, khususnya ketentuan Pasal 7 ayat (4) beserta dengan Penjelasannya yang mengakui keberadaan beberapa peraturan sebagai perundang-undangan sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tanpa menempatkannya di dalam hierarki perundang-undangan.
Salah satu peraturan yang terdapat di dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) undang-undang aquo adalah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang telah diterbitkan oleh Mahkamah Agung sejak tahun 1954, berdasarkan delegasi kewenangan yang diberikan oleh Pasal 131 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kewenangan ini digantikan oleh ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Secara historis, delegasi kewenangan yang diberikan oleh lembaga legislatif kepada Mahkamah Agung tersebut bertujuan untuk mengisi kekosongan ataupun melengkapi kekurangan hukum acara peradilan yang terdapat di dalam undang-undang, karena pada awal kemerdekaan Indonesia belum memiliki ketentuan hukum acara yang dapat mengadaptasi perkembangan masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa sesungguhnya kewenangan regeling yang dimiliki oleh Mahkamah Agung adalah bersifat sementara. Namun dalam perkembangannya, kewenangan mengatur oleh Mahkamah Agung masih tetap dipertahankan, bahkan dilegitimasi melalui beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah yang secara tegas memerintahkan agar pelaksanaan lebih lanjut dari kedua perundang-undangan tersebut diatur melalui PERMA. Bertolak dari beberapa ketentuan normatif tersebut, penulis berpandangan bahwa sesungguhnya terdapat political will dari pembentuk undang-undang untuk memberikan kewenangan regeling kepada Mahkamah Agung secara permanen.
Berkaitan dengan fungsi “mengatur” dari sebuah lembaga pemerintahan, C. van Vollenhoven berpendapat bahwa fungsi tersebut adalah fungsi untuk membuat peraturan yang tidak hanya secara formil, tetapi juga dalam arti materiil, yaitu: setiap peraturan yang memiliki daya ikat terhadap setiap orang, sehingga kewenangan membuat perundang-undangan tidaklah murni merupakan monopoli dari lembaga legislatif. Demikian pula menurut Hans Kelsen yang berpendapat bahwa lembaga legislatif tidak pernah memonopoli pembuatan norma-norma umum, tetapi hanya menempati posisi tertentu yang lebih disukai, sehingga pengadilan juga berkompetensi untuk menjalankan fungsi legislatif.
Mengakui keberadaan PERMA sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan, tanpa menempatkanya di dalam hierarki peraturan perundang-undangan mempunyai dua dampak. Di satu sisi bersifat positif, karena merupakan suatu kemajuan untuk mengakui secara formal PERMA sebagai bagian dari sistem perundang-undangan nasional, tetapi di sisi lain hal tersebut justru bertentangan dengan konsep dasar dibentuknya undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yakni: terciptanya suatu tertib pembentukan peraturan perundang-undangan dan kekuatan hukumnya yang bersifat hierarkis, sebagai salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional.
Sebagai peraturan yang diterbitkan untuk memperlancar jalannya peradilan, terkadang PERMA memiliki ciri sebagai suatu perundang-undangan, yaitu: mengikat publik, sehingga terhadap peraturan yang berkarakteristik demikian, tetapi tidak dimasukkan ke dalam hierarki perundang-undangan akan menjadikan peraturan tersebut tidak dapat dikontrol. Oleh karenanya, penulis merekomendasikan bahwa kelak di dalam revisi terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dilakukan pengaturan secara tegas antara peraturan yang dapat dikategorikan sebagai perundang-undangan dan peraturan yang tidak, sehingga bagi peraturan telah secara tegas diakui sebagai perundang-undangan seharusnya dimasukkan di dalam hierarki perundang-undangan.
Menghubungkan PERMA dengan hierarki dan jenis perundang-undangan lain yang terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka penulis berpendapat bahwa seharusnya PERMA ditempatkan sederajat dengan Peraturan Presiden, mengingat terdapatnya persamaan di dalam materi muatan di antara keduanya, yaitu: sebagai peraturan yang melaksanakan perintah undang-undang dan ketentuan peraturan pemerintah.
Dengan demikian, sosialisasi tentang keberadaan PERMA sebagai suatu perundang-undangan menjadi mutlak diperlukan guna memenuhi asas publisitas yang disyaratkan bagi suatu peraturan perundang-undangan, serta tata cara pembentukan PERMA yang seharusnya selaras dengan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan lainnya.

PERMA dan Judicial Review
Sebagai konsekuensi logis dari diakuinya PERMA sebagai peraturan yang bersifat perundang-undangan, serta tidak adanya perundang-undangan lain yang mereservasi kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan itu, maka terhadap PERMA harus pula dapat dilakukan judicial review. Namun harus pula diakui bahwa melakukan judicial review terhadap PERMA akan bertentangan dengan the principles of natural justice, khususnya nemo judex in sua causa yang melarang setiap orang untuk menjadi hakim atas perkaranya sendiri. Namun sebagai Hukum Dasar, Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 telah secara tegas mengamanatkan bahwa Mahkamah Agung yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Dalam mengatasi adanya pertentangan norma hukum terhadap konstitusi, pada tahun 1803 mantan Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat John Marshall di dalam bagian pertimbangan hukumnya ketika mengadili perkara William Marbury vs. Madison yang merupakan awal dari pelaksanaan judicial review di Amerika serikat, berpendapat bahwa sudah merupakan salah satu tujuan konstitusi untuk mendefinisikan dan membatasi kekuasaan pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang tidak dapat diperbolehkan untuk menerbitkan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi, apabila konstitusi berlaku sebagai hukum yang lebih tinggi. Pengadilan menghindari untuk memilih di antara konsitusi dan undang-undang yang bertentangan, dalam hal keduanya relevan dengan suatu kasus, di mana pengadilan tersebut diminta untuk memutuskan. Mengingat konstitusi adalah hukum tertinggi, hakim tidak mempunyai pilihan lain, selain memilih konstitusi untuk menolak mempengaruhi undang-undang.
Kendati demikian, apabila politik hukum negara menghendakinya, maka terkait kewenangan Mahkamah Agung RI untuk melakukan judicial review terhadap PERMA yang merupakan produknya sendiri, paling tidak terdapat dua alternatif solusi yang dapat dilakukan, yaitu: Pertama, mempertegas kewenangan Mahkamah Agung didalam melakukan judical review, termasuk terhadap PERMA yang dapat dilakukan pula melalui revisi terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung. Kedua, melakukan amandemen terhadap ketentuan Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 dan melimpahkan kewenangan untuk menguji secara materiil setiap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang kepada lembaga lain, misalnya: Mahkamah Konstitusi.

PERMA & SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

Sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia, Mahkamah Agung diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menerbitkan suatu “peraturan” yang berfungsi sebagai pengisi kekosongan ataupun pelengkap kekurangan aturan terhadap hukum acara, demi memperlancar penyelenggaraan peradilan. Sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 1954, peraturan yang diperoleh berdasarkan delegasi kewenangan itu dinamakan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).
Terkait dengan eksistensi PERMA, paling tidak terdapat 3 (tiga) hal yang patut untuk dikritisi, yakni: tentang kewenangan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif di dalam mengeluarkan sebuah peraturan yang terkadang memiliki karakteristik sebagai suatu perundang-undangan, kemudian tentang kedudukan PERMA di dalam sistem perundang-undangan Indonesia, dan tentang peranan PERMA di dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di bidang peradilan.
Selaras dengan prinsip separation of power yang merupakan salah satu ciri dari sebuah negara hukum, maka kewenangan membuat peraturan yang bersifat mengikat dan membatasi kebebasan setiap warga negara bukanlah merupakan kewenangan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif, tetapi menjadi ranah dari lembaga legislatif. Selaras dengan prinsip judge made law yang juga diakui keberadaannya dan diperbolehkan untuk dilakukan oleh para hakim di dalam sistem hukum Eropa Kontinental dalam bentuk rechtshepping, seharusnya Mahkamah Agung menciptakan hukum melalui putusan-putusan hakim, dalam hal belum tersedianya aturan perundang-undangan yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Otoritas publik di dalam sebuah negara hukum haruslah senantiasa diatur secara formal berdasarkan perundang-undangan, baik secara atributif maupun delegatif. Beberapa ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Agung berserta dengan beberapa kali perubahannya, telah menjadi dasar kewenangan delegatif yang dimiliki Mahkamah Agung untuk menerbitkan peraturan yang berkaitan hukum acara.
Perkembangan terakhir dari sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai acuan dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Pasal 7 ayat (4) beserta penjelasan dari undang-undang tersebut telah mengakui keberadaan PERMA sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan, sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tanpa menempatkannya di dalam hierarki perundang-undangan sebagaimana terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) undang-undang aquo. Kondisi ini merupakan problematika lain yang patut menjadi perhatian guna memahami keberadaan dan kedudukan PERMA di dalam sistem perundang-undangan nasional. Pengakuan PERMA sebagai salah satu jenis perundang-undangan yang tidak dibarengi oleh tindakan menempatkan PERMA di dalam hierarki perundang-undangan akan menjadikan PERMA sebagai peraturan yang sulit dikontrol, padahal jika ditinjau secara substantif beberapa PERMA memiliki karakteristik sebagai suatu perundang-undangan yang mengikat kepada publik. Dengan demikian, perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang di dalamnya mengatur secara tegas tentang pemisahan antara jenis peraturan mana yang dapat dikategorikan senagai perundang-undangan, dan peraturan mana yang tidak, sehingga bagi peraturan yang telah dikategorikan secara tegas sebagai suatu perundang-undangan, seharusnya dimasukkan ke dalam hierarki perundang-undangan.
Sebagai peraturan yang diterbitkan dengan tujuan untuk memperlancar jalannya peradilan, PERMA telah menunjukkan berbagai peranannya di dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di bidang peradilan. Hal ini dapat terlihat dari beberapa putusan hakim yang ternyata mempergunakan PERMA sebagai dasar di dalam bagian pertimbangan hukumnya, dalam hal terjadinya kekosongan ataupun kekurangan aturan di dalam undang-undang hukum acara. Kesemuanya itu dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai sarana penemuan hukum dan dalam rangka melakukan penegakan hukum di Indonesia, sehingga sebaiknya sosialisasi terhadap keberadaan PERMA dapat lebih ditingkatkan, sehingga PERMA dapat lebih mengoptimalkan peranannya di dalam membantu penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di bidang peradilan.

“EPISODE BARU KONTROVERSI PK”

Layaknya serial sinetron di televisi, kontroversi tentang lembaga peninjauan kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa (buitengewone rechtsmiddelen) di dalam sistem hukum Indonesia akan segera memasuki “episode baru.” Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dan melelahkan perihal legal standing dari pihak Kejaksaan untuk melakukan upaya hukum PK, kini muncul problematika baru terkait dengan salah satu pranata hukum acara pidana tersebut, yaitu: mengenai substansi dan jenis putusan yang terhadapnya dapat dilakukan upaya hukum PK, beserta akibat hukumnya.
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan secara tegas dan limitatif menentukan bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat untuk mengajukan upaya hukum PK kepada Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Demikian pula dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak pernah secara tegas memperbolehkan Jaksa untuk melakukan upaya hukum PK.
Kendati demikian, Mahkamah Agung sebagai lembaga yang dianggap paling mengetahui hukum (curia novit jus) melalui beberapa putusannya yang sudah menjadi yurisprudensi, telah dapat menerima kejaksaan sebagai pihak yang memiliki legal standing untuk melakukan upaya hukum PK. Hal ini haruslah dihormati dan dipandang sebagai bentuk rechtshepping yang memang diakui keberadaannya dan diperbolehkan untuk dilakukan oleh para hakim di dalam civil law system, serta diakui pula sebagai salah satu sumber hukum formal di dalam sistem hukum Indonesia. Melalui rubrik ini (Sinar Harapan, tanggal 23 Juli 2009) penulis pernah mengusulkan agar penerbitan PERMA yang di dalamnya mengatur tentang pengajuan upaya hukum PK oleh Jaksa dapat dipergunakan sebagai alternatif solusi, dalam rangka melengkapi kekurangan aturan di dalam hukum acara.
Selain daripada itu, fenomena lain dari eksistensi lembaga PK yang mengemuka akhir-akhir ini adalah tentang jenis putusan yang dapat diajukan upaya hukum luar biasa tersebut. Istilah “terpidana” di dalam ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut menunjukkan bahwa putusan yang terhadapnya dapat diajukan PK adalah vonnis berupa pemidanaan. Lebih tegas lagi bahwa upaya hukum PK hanya dapat dilakukan terhadap putusan yang dijatuhkan setelah melalui proses pembuktian di persidangan, di mana dari tahapan tersebut majelis hakim secara sah memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan delik yang didakwakan kepadanya. Seharusnya PK tidak dapat dilakukan terhadap putusan-putusan yang bersifat administratif ataupun prosedural. Namun, harus diakui bahwa memang KUHAP yang ada saat ini belum secara expressis verbis mengatur hal tersebut. Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung hanya memberikan limitasi terhadap beberapa jenis putusan yang tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi, tanpa mengatur lebih lanjut mengenai upaya hukum PK.


Sebagaimana layaknya setiap upaya hukum yang dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan dalam suatu perkara di pengadilan, maka pada akhirnya akan berujung pada sebuah putusan pengadilan, baik yang bersifat mengabulkan upaya hukum tersebut ataupun sebaliknya. Demikian pula dengan upaya hukum PK yang dilakukan oleh Jaksa. Terlepas dari problematika legal standing dari pihak Kejaksaan yang masih dapat diperdebatkan itu, seharusnya ketika Jaksa sudah diakui sebagai pihak yang berkompeten untuk melakukan upaya hukum PK, maka secara mutatis mutandis pihak Kejaksaan harus pula tunduk pada ketentuan normatif yang berlaku bagi upaya hukum PK, dalam hal ini pelaksanaan putusan hakim yang tidak dapat ditangguhkan dengan adanya upaya hukum luar biasa tersebut. Hal ini telah pula secara tegas diatur, baik melalui Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa permintaan peninjauan kembali terhadap suatu putusan, tidak menangguhkan ataupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut ataupun berdasarkan Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah dan ditambah oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia secara tegas menentukan bahwa jaksa memiliki tugas untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan turut menyelenggarakan pengamanan kebijakan penegakan hukum. Secara konsepional, penegakan hukum merupakan upaya penyesuaian antara nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat dengan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam perundang-undangan. Terlebih lagi bagi Jaksa Agung sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan, secara khusus diberikan tugas untuk mengefektifkan penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang.
Dengan demikian, tidak ada alasan ataupun landasan hukum bagi pihak Kejaksaan yang dapat dijadikan sebagai argumentasi, selain daripada melaksanakan suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kendati terhadap putusan yang bersangkutan sedang dilakukan upaya hukum PK, seperti yang telah diperintahkan oleh Undang-Undang.

MENCARI “WASIT ETIKA” PERADILAN

Minimnya antusiasme publik terhadap pendaftaran calon anggota Komisi Yudisial membuat panitia seleksi para “wasit etika” tersebut memperpanjang waktu pendaftarannya hingga Oktober 2010, sungguhpun pada awal Agustus 2010 keenam orang komisioner KY yang ada saat ini akan segera mengakhiri lima tahun periode jabatannya. Fenomena ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dialami oleh panitia seleksi pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang mendapatkan respon yang demikian besar dari masyarakat. Tidak kurang dari 400 orang dengan berbagai latar belakang profesi datang untuk mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK, bahkan kendati sudah terganjal persyaratan normatif tentang margin usia yang terdapat di dalam undang-undang, beberapa bakal calon pimpinan KPK tersebut berupaya melakukan constitutional review ke Mahkamah Konstitusi, karena berpandangan bahwa ketentuan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, khususnya ketentuan yang menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, sebagaimana terdapat di dalam ketentuan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Terlepas dari polemik tentang upaya hukum aquo yang memang pada dasarnya merupakan hak dari setiap warga negara, Pasal 26 huruf C Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial secara tegas juga telah melimitasi usia seseorang untuk menjadi anggota Komsi Yudisial, yakni: paling rendah berusia 40 tahun dan paling tinggi berusia 68 tahun pada saat proses pemilihan, tetapi mengapa tidak ada anggota masyarakat yang mempersoalkannya? Apakah ini pertanda bahwa masyarakat tidak lagi memposisikan etika dan moralitas sebagai prioritas utama di dalam penegakan hukum? Pasal 24B UUD 1945 secara eksplisit mengamanatkan bahwa salah satu kewenangan Komisi Yudisial adalah untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim yang menurut pandangan penulis bahwa ketiga hal tersebut sangat erat kaitannya dengan aspek etika dan moralitas.
Tidak dapat dipungkiri bahwa UUD 1945 sebagai sumber dari segala peraturan perundang-undangan di bawahnya, telah secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, dan bukanlah “negara etika.” Mungkin hal ini jualah yang lantas dijadikan justifikasi para kaum “positivis” di negeri ini untuk menciptakan jurang pemisah yang terlampau jauh antara hukum dengan etika. Padahal, apabila ditelisik lebih jauh mengenai substansi dan proses terbentuknya hukum itu sendiri, maka hukum bukanlah bagian yang dapat dipisahkan dari tatanan etika di dalam suatu waktu dan tempat tertentu, untuk kemudian norma-norma etika sosial tersebut, diformalisasikan oleh lembaga legislatif ke dalam suatu bentuk tertulis bernama undang-undang.
Berbagai kasus hukum kontemporer yang justru melibatkan para aparat penegak hukum sebagai tersangka di dalamnya merupakan salah satu akibat dari sistem penegakan hukum yang terhenti pada ranah aturan dan prosedur, tanpa memperhatikan aspek etika dan moralitas. Hukum bukanlah suatu instrumen yang bersifat ex opera operato, melainkan masih diperlukan manusia sebagai operator yang tentunya sebagai mahkluk sosial tidak terlepas dari berbagai macam tujuan dan kepentingan di dalam hidupnya masing-masing, termasuk para hakim di setiap tingkatan dan lingkungan peradilan.
Profesi hakim bukanlah sebuah profesi bebas nilai yang secara eksklusif dapat berdiri bak menara gading dan secara ekstrem menunjukan sikap alergi yang berlebihan terhadap nilai-nilai masyarakat pada umumnya, sebaliknya merupakan profesi yang terintegrasi dengan masyarakat, sehingga nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat harus pula dijadikan ukuran bagi seorang hakim didalam menjalankan etika profesinya. Namun sebagai mahkluk sosial yang tidak pernah lepas dari berbagai kekhilafan, para profesional hakim tetap membutuhkan individu lain yang dapat bertindak sebagai the guardian of their professional conduct, sehingga sangatlah diharapkan keluhuran dari masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim yang dapat diwujudkan secara formal melalui pendaftaran panitia seleksi anggota Komisi Yudisial.
Di samping itu, tetap dibutuhkan attensi dari pihak pemerintah, khususnya Presiden agar dapat lebih serius menyelesaikan fenomena terkait dengan proses pemilihan anggota KY tersebut. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya hal ini merupakan amanat dari Pasal 24B UUD 1945 yang kemudian diejawantahkan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 telah secara tegas mengamanatkan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Lafal sumpah jabatan dari seorang presiden yang mewajibkan presiden untuk secara sungguh-sungguh menjalankan segala undang-undang dengan selurus-lurusnya telah menutup ruang “rational choice” bagi Presiden, selain daripada mendorong kinerja panitia seleksi secara optimal dan dapat menyelesaikan seluruh tugasnya secara tepat waktu, sehingga tidak terjadi kekosongan kepemimpinan dalam lembaga KY tersebut.

RATIONAL CHOICE PENEGAKAN HUKUM

Preferensi untuk membentuk pranata hukum baru yang bersifat ad hoc daripada mengoptimalkan utilitas lembaga yang telah ada merupakan salah satu refleksi dari politik hukum pemerintah saat ini dalam mengakomodasi aspirasi masyarakat tentang problematika penegakan hukum kontemporer. Tindakan semacam ini kerap kali dilakukan oleh Pemerintahan SBY. Pada awal periode jabatannya yang pertama, Presiden Yudhoyono pernah membentuk Timtastipikor berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 yang merupakan bentuk implementasi dari janji kampanye pada Pemilu 2004 untuk memimpin secara langsung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Selanjutnya, konflik terbuka antara KPK dengan institusi Polri, disikapinya dengan cara membentuk Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Chanda M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto atau yang lebih dikenal sebagai Tim Delapan melalui Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2009, serta yang terakhir adalah pembentukan Tim Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum melalui Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009
Ketiga contoh fakta tersebut, secara analogis dapat disejajarkan antara bentuk politik penegakan hukum Presiden SBY ini dengan mazhab rational choice dalam ilmu politik yang melakukan simplifikasi radikal dengan mempergunakan model matematika guna menjelaskan dan menafsirkan gejala-gejala politik. Dalam mazhab aquo individu dipandang sebagai aktor terpenting dalam dunia politik. Di dalam ilmu hukum, harus diakui bahwa pada dasarnya faktor individu memiliki peranan yang siginifikan di dalam suatu sistem penegakan hukum. Selengkap apapun substansi dari sebuah aturan, tidak akan berarti tanpa dukungan dari struktur hukum yang ideal dalam konteks kapasitas dan integritas yang tinggi, sehingga mampu untuk mendorong upaya penegakan hukum yang selama ini dirasakan kurang optimal. Akan tetapi hal ini sepatutnya dipahami pula secara komprehensif, yakni dengan mengkaji keterkaitan antara satu elemen dengan yang lain, serta hubungannya dengan berbagai faktor sebagai suatu sistem.
Problematika penegakan hukum bukanlah semata-mata persoalan yang dapat dikalkulasikan secara matematis, bukan pula permasalahan yang cukup diselesaikan dalam tatanan politis sebagai solusinya. Lebih kompleks daripada itu, penegakan hukum merupakan harmonisasi secara proporsional dan fundamental terhadap ketiga unsur kepastian, kemanfaatan dan keadilan yang harus senantiasa diperhatikan oleh kedua elemen substansi dan struktur hukum tadi. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 telah secara tegas menentukan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Salah satu karakteristik dari sebuah negara hukum demokratis adalah terdapatnya pengaturan secara formal terhadap setiap otoritas publik yang dilakukan melalui perundang-undangan, baik secara atributif maupun delegatif. Selanjutnya Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 telah pula memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk menyelenggarakan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Amanat konsitusi tersebut hendaknya dipahami dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem hukum yang terdiri dari elemen struktural, substansial dan sosio-kultural, termasuk oleh Presiden dalam mengambil sikap politik penegakan hukum, khususnya tatkala membentuk berbagai pranata hukum baru yang masih belum jelas tugas pokok dan fungsi, serta landasan hukum formal pembentukannya.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang tidak lain merupakan pengejawantahan dari ketentuan Pasal 22 A UUD 1945 dan menjadi acuan di dalam membentuk perundang-undangan di Indonesia saat ini, secara eksplisit dan limitatif menjadikan kewenangan Presiden yang mandiri untuk mengatur dalam bentuk perundang-undangan, tidak lagi diwujudkan melalui pembentukan Keputusan Presiden, melainkan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah ataupun Peraturan Presiden. Eksistensi dari Keputusan Presiden dalam perspektif sistem perundang-undangan saat ini ditujukan sebagai suatu peraturan kebijakan (beleidsregels) yang hanya berlaku bagi kalangan internal lembaga pembentuknya, maupun sebagai penetapan pemerintah (beschikking) yang memiliki sifat norma individual konkrit, dan tidak lagi bersifat mengatur.
Setelah dilakukan empat kali amandemen terhadap UUD 1945, terdapat kurang-lebih tiga puluh empat organ dan jabatan yang diakui keberadaannya beserta tugas, fungsi dan kedudukannya masing-masing di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan Presiden untuk menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar, seharusnya optimalisasi setiap lembaga penegak hukum yang kedudukannya berada di bawah pemerintah dapat menjadi prioritas utama bagi Presiden di dalam melakukan penegakan hukum, melalui cara penempatan berbagai figur berkapasitas dan integritas tinggi di berbagai lembaga tersebut, serta memberdayakan merit system secara konsisten di dalam birokrasi penegakan hukum. Hal ini akan jauh lebih efektif untuk dijadikan alternatif daripada hanya sekedar membentuk berbagai pranata hukum baru yang bersifat ad hoc, terlebih jika hanya didasarkan pada pendekatan rational choice semata.