Senin, 12 Juli 2010

KETIKA LEGALITAS JAKSA AGUNG DIPERSOALKAN

Perubahan terhadap UUD 1945 yang telah menghilangkan eksistensi GBHN dari sistem ketatanegaraan Indonesia dan tidak lagi menempatkan Presiden sebagai mandataris MPR, ternyata berdampak cukup signifikan terhadap struktur dan fungsi beberapa jabatan di dalam pemerintahan. Salah satu di antaranya adalah jabatan Jaksa Agung yang tidak lagi menjadi kewenangan mutlak Presiden. Ketentuan Pasal 17 UUD 1945 yang hanya mengamanatkan kepada Menteri Negara untuk membantu Presiden di dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan, mempertegas fakta bahwa Jaksa Agung bukanlah lagi merupakan bagian integral dari sebuah kabinet pemerintahan kontemporer guna mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan di dalam Preambule UUD 1945. Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, sama sekali tidak menentukan kedudukan Jaksa Agung sebagai bagian dari perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, maka dapat terlihat secara jelas posisi lembaga Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penyelenggara negara yang secara fungsional berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
Selaras dengan legaliteitsbeginsel yang merupakan pilar utama dari sebuah negara hukum yang demokratis, maka setiap wewenang pemerintahan haruslah berasal dari perundang-undangan yang dapat diimplementasikan melalui tiga cara, yaitu: atribusi, delegasi ataupun mandat. Mengaitkan antara ketiga bentuk wewenang pemerintahan tersebut dengan tugas dan wewenang Jaksa Agung yang saat ini terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, penulis berpandangan bahwa kewenangan yang telah diberikan kepada Jaksa Agung termasuk ke dalam ranah kewenangan atributif, in casu untuk memimpin dan mengendalikan pelaksanaan setiap tugas dan wewenang lembaga kejaksaan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Adapun masih terdapatnya kewajiban seorang Jaksa Agung memberikan laporan pertanggungjawaban kepada Presiden, maka hal tersebut haruslah dipandang sebagai suatu bentuk implementasi dari asas akuntabilitas yang merupakan salah satu asas umum dalam good governance.
Begitu pula dengan kedudukan dari seorang Jaksa Agung yang menurut Pasal 19 undang-undang Kejaksaan telah ditentukan sebagai pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden melalui sebuah Keputusan Presiden. Pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, nomenklatur sebuah “Keputusan Presiden” merujuk kepada suatu keputusan normatif yang berisi dan bersifat administratif (beschikking), dalam hal ini rechtsheppend beschikking yang menurut isi dan sifatnya dapat memberikan status kepada seseorang ataupun lembaga, sehingga berkompetensi untuk menerapkan aturan hukum tertentu.
Di dalam perspektif Hukum Administrasi Negara, pada dasarnya suatu beschikking harus dianggap sebagai keputusan yang sah menurut hukum dan oleh karenanya memiliki kekuatan eksekutorial, sampai dengan dilakukan pembatalan terhadap keputusan tersebut, baik oleh lembaga pembentuk keputusan itu sendiri dengan dilandaskan pada berbagai macam alasan yuridis, sosiologis dan filosofis, ataupun juga oleh lembaga lain yang memang telah diberikan kewenangan oleh Undang-Undang untuk menguji perihal keabsahan dari keputusan yang bersangkutan.
Secara konseptual, paling tidak terdapat empat syarat yang harus dipenuhi agar keputusan dapat berlaku secara sah, yaitu: dibuat oleh organ yang berwenang, tidak terdapatnya kekurangan unsur yuridis di dalam proses pembentukannya, harus diberi bentuk terhadap keputusan tersebut, dan terdapatnya persesuaian antara keputusan dengan peraturan yang secara hierarkhis melandasi terbitnya keputusan tersebut. Keempat hal ini tentunya berlaku pula bagi setiap keputusan tentang pengangkatan dan pemberhentian pejabat negara, termasuk Jaksa Agung. Selama tidak dapat ditemukannya pelanggaran terhadap keempat hal diatas yang menjadi prasyarat dalam membentuk suatu keputusan, menurut hemat penulis keputusan tersebut merupakan keputusan yang sah (rechtsgeldige beschikking) menurut hukum administrasi negara.
Dalam konteks keputusan tentang pengangkatan dan pemberhentian seorang Jaksa Agung, sepanjang belum dilakukannya pencabutan oleh institusi yang memang berkompeten untuk itu, ataupun ditemukannya suatu cacat, baik secara normatif prosedural ataupun substansial yang terdapat di dalam undang-undang organik Kejaksaan dan peraturan perundang-undangan lainnya, maka terhadap keputusan tersebut tidaklah dapat secara apriori dikatakan sebagai suatu keputusan yang tidak sah (niet-rechtsgeldige beschikking) dan mempersoalkan legalitas Jaksa Agung demi kepentingan subjektif belaka, sehingga dalam hal ini penulis berpendapat bahwa kedudukan Jaksa Agung sebagai seorang penjabat negara, tetap memiliki landasan hukum yang sah guna menjalankan setiap fungsi dan kewenangannya, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh undang-undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar