Senin, 12 Juli 2010

RATIONAL CHOICE PENEGAKAN HUKUM

Preferensi untuk membentuk pranata hukum baru yang bersifat ad hoc daripada mengoptimalkan utilitas lembaga yang telah ada merupakan salah satu refleksi dari politik hukum pemerintah saat ini dalam mengakomodasi aspirasi masyarakat tentang problematika penegakan hukum kontemporer. Tindakan semacam ini kerap kali dilakukan oleh Pemerintahan SBY. Pada awal periode jabatannya yang pertama, Presiden Yudhoyono pernah membentuk Timtastipikor berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 yang merupakan bentuk implementasi dari janji kampanye pada Pemilu 2004 untuk memimpin secara langsung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Selanjutnya, konflik terbuka antara KPK dengan institusi Polri, disikapinya dengan cara membentuk Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Chanda M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto atau yang lebih dikenal sebagai Tim Delapan melalui Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2009, serta yang terakhir adalah pembentukan Tim Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum melalui Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009
Ketiga contoh fakta tersebut, secara analogis dapat disejajarkan antara bentuk politik penegakan hukum Presiden SBY ini dengan mazhab rational choice dalam ilmu politik yang melakukan simplifikasi radikal dengan mempergunakan model matematika guna menjelaskan dan menafsirkan gejala-gejala politik. Dalam mazhab aquo individu dipandang sebagai aktor terpenting dalam dunia politik. Di dalam ilmu hukum, harus diakui bahwa pada dasarnya faktor individu memiliki peranan yang siginifikan di dalam suatu sistem penegakan hukum. Selengkap apapun substansi dari sebuah aturan, tidak akan berarti tanpa dukungan dari struktur hukum yang ideal dalam konteks kapasitas dan integritas yang tinggi, sehingga mampu untuk mendorong upaya penegakan hukum yang selama ini dirasakan kurang optimal. Akan tetapi hal ini sepatutnya dipahami pula secara komprehensif, yakni dengan mengkaji keterkaitan antara satu elemen dengan yang lain, serta hubungannya dengan berbagai faktor sebagai suatu sistem.
Problematika penegakan hukum bukanlah semata-mata persoalan yang dapat dikalkulasikan secara matematis, bukan pula permasalahan yang cukup diselesaikan dalam tatanan politis sebagai solusinya. Lebih kompleks daripada itu, penegakan hukum merupakan harmonisasi secara proporsional dan fundamental terhadap ketiga unsur kepastian, kemanfaatan dan keadilan yang harus senantiasa diperhatikan oleh kedua elemen substansi dan struktur hukum tadi. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 telah secara tegas menentukan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Salah satu karakteristik dari sebuah negara hukum demokratis adalah terdapatnya pengaturan secara formal terhadap setiap otoritas publik yang dilakukan melalui perundang-undangan, baik secara atributif maupun delegatif. Selanjutnya Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 telah pula memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk menyelenggarakan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Amanat konsitusi tersebut hendaknya dipahami dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem hukum yang terdiri dari elemen struktural, substansial dan sosio-kultural, termasuk oleh Presiden dalam mengambil sikap politik penegakan hukum, khususnya tatkala membentuk berbagai pranata hukum baru yang masih belum jelas tugas pokok dan fungsi, serta landasan hukum formal pembentukannya.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang tidak lain merupakan pengejawantahan dari ketentuan Pasal 22 A UUD 1945 dan menjadi acuan di dalam membentuk perundang-undangan di Indonesia saat ini, secara eksplisit dan limitatif menjadikan kewenangan Presiden yang mandiri untuk mengatur dalam bentuk perundang-undangan, tidak lagi diwujudkan melalui pembentukan Keputusan Presiden, melainkan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah ataupun Peraturan Presiden. Eksistensi dari Keputusan Presiden dalam perspektif sistem perundang-undangan saat ini ditujukan sebagai suatu peraturan kebijakan (beleidsregels) yang hanya berlaku bagi kalangan internal lembaga pembentuknya, maupun sebagai penetapan pemerintah (beschikking) yang memiliki sifat norma individual konkrit, dan tidak lagi bersifat mengatur.
Setelah dilakukan empat kali amandemen terhadap UUD 1945, terdapat kurang-lebih tiga puluh empat organ dan jabatan yang diakui keberadaannya beserta tugas, fungsi dan kedudukannya masing-masing di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan Presiden untuk menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar, seharusnya optimalisasi setiap lembaga penegak hukum yang kedudukannya berada di bawah pemerintah dapat menjadi prioritas utama bagi Presiden di dalam melakukan penegakan hukum, melalui cara penempatan berbagai figur berkapasitas dan integritas tinggi di berbagai lembaga tersebut, serta memberdayakan merit system secara konsisten di dalam birokrasi penegakan hukum. Hal ini akan jauh lebih efektif untuk dijadikan alternatif daripada hanya sekedar membentuk berbagai pranata hukum baru yang bersifat ad hoc, terlebih jika hanya didasarkan pada pendekatan rational choice semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar