Senin, 12 Juli 2010

MENCARI “WASIT ETIKA” PERADILAN

Minimnya antusiasme publik terhadap pendaftaran calon anggota Komisi Yudisial membuat panitia seleksi para “wasit etika” tersebut memperpanjang waktu pendaftarannya hingga Oktober 2010, sungguhpun pada awal Agustus 2010 keenam orang komisioner KY yang ada saat ini akan segera mengakhiri lima tahun periode jabatannya. Fenomena ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dialami oleh panitia seleksi pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang mendapatkan respon yang demikian besar dari masyarakat. Tidak kurang dari 400 orang dengan berbagai latar belakang profesi datang untuk mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK, bahkan kendati sudah terganjal persyaratan normatif tentang margin usia yang terdapat di dalam undang-undang, beberapa bakal calon pimpinan KPK tersebut berupaya melakukan constitutional review ke Mahkamah Konstitusi, karena berpandangan bahwa ketentuan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, khususnya ketentuan yang menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, sebagaimana terdapat di dalam ketentuan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Terlepas dari polemik tentang upaya hukum aquo yang memang pada dasarnya merupakan hak dari setiap warga negara, Pasal 26 huruf C Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial secara tegas juga telah melimitasi usia seseorang untuk menjadi anggota Komsi Yudisial, yakni: paling rendah berusia 40 tahun dan paling tinggi berusia 68 tahun pada saat proses pemilihan, tetapi mengapa tidak ada anggota masyarakat yang mempersoalkannya? Apakah ini pertanda bahwa masyarakat tidak lagi memposisikan etika dan moralitas sebagai prioritas utama di dalam penegakan hukum? Pasal 24B UUD 1945 secara eksplisit mengamanatkan bahwa salah satu kewenangan Komisi Yudisial adalah untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim yang menurut pandangan penulis bahwa ketiga hal tersebut sangat erat kaitannya dengan aspek etika dan moralitas.
Tidak dapat dipungkiri bahwa UUD 1945 sebagai sumber dari segala peraturan perundang-undangan di bawahnya, telah secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, dan bukanlah “negara etika.” Mungkin hal ini jualah yang lantas dijadikan justifikasi para kaum “positivis” di negeri ini untuk menciptakan jurang pemisah yang terlampau jauh antara hukum dengan etika. Padahal, apabila ditelisik lebih jauh mengenai substansi dan proses terbentuknya hukum itu sendiri, maka hukum bukanlah bagian yang dapat dipisahkan dari tatanan etika di dalam suatu waktu dan tempat tertentu, untuk kemudian norma-norma etika sosial tersebut, diformalisasikan oleh lembaga legislatif ke dalam suatu bentuk tertulis bernama undang-undang.
Berbagai kasus hukum kontemporer yang justru melibatkan para aparat penegak hukum sebagai tersangka di dalamnya merupakan salah satu akibat dari sistem penegakan hukum yang terhenti pada ranah aturan dan prosedur, tanpa memperhatikan aspek etika dan moralitas. Hukum bukanlah suatu instrumen yang bersifat ex opera operato, melainkan masih diperlukan manusia sebagai operator yang tentunya sebagai mahkluk sosial tidak terlepas dari berbagai macam tujuan dan kepentingan di dalam hidupnya masing-masing, termasuk para hakim di setiap tingkatan dan lingkungan peradilan.
Profesi hakim bukanlah sebuah profesi bebas nilai yang secara eksklusif dapat berdiri bak menara gading dan secara ekstrem menunjukan sikap alergi yang berlebihan terhadap nilai-nilai masyarakat pada umumnya, sebaliknya merupakan profesi yang terintegrasi dengan masyarakat, sehingga nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat harus pula dijadikan ukuran bagi seorang hakim didalam menjalankan etika profesinya. Namun sebagai mahkluk sosial yang tidak pernah lepas dari berbagai kekhilafan, para profesional hakim tetap membutuhkan individu lain yang dapat bertindak sebagai the guardian of their professional conduct, sehingga sangatlah diharapkan keluhuran dari masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim yang dapat diwujudkan secara formal melalui pendaftaran panitia seleksi anggota Komisi Yudisial.
Di samping itu, tetap dibutuhkan attensi dari pihak pemerintah, khususnya Presiden agar dapat lebih serius menyelesaikan fenomena terkait dengan proses pemilihan anggota KY tersebut. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya hal ini merupakan amanat dari Pasal 24B UUD 1945 yang kemudian diejawantahkan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 telah secara tegas mengamanatkan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Lafal sumpah jabatan dari seorang presiden yang mewajibkan presiden untuk secara sungguh-sungguh menjalankan segala undang-undang dengan selurus-lurusnya telah menutup ruang “rational choice” bagi Presiden, selain daripada mendorong kinerja panitia seleksi secara optimal dan dapat menyelesaikan seluruh tugasnya secara tepat waktu, sehingga tidak terjadi kekosongan kepemimpinan dalam lembaga KY tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar