Selasa, 04 Februari 2014

Nasib Pasal yang Terabaikan

Pada dasarnya lembaga Pengusiran (expulsion) terhadap setiap warga negara asing yang melakukan suatu tindak pidana di dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukanlah merupakan sesuatu hal baru. Pengaturan mengenai hal itu diatur di dalam beberapa Undang-Undang. Sebut saja salah satunya ketentuan 146 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang menentukan untuk dilakukan pengusiran terhadap setiap warga negara asing yang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika dari dalam wilayah Negara Republik Indonesia setelah selsesai menjalani Pidananya, serta melarang orang tersebut untuk masuk kembali ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Hal ini diatur pula di dalam Pasal 75 ayat (1) jo. ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian yang telah secara tegas memberikan kewenangan kepada setiap Pejabat imigrasi untuk melakukan tindakan administratif keimigrasian untuk melarang setiap warga Negara asing yang telah melanggar perundang-undangan untuk kembali masuk ke dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Namun berdasarkan pengamatan penulis, ketentuan dari kedua pasal ini belum pernah ditegakkan secara masksimal. Seorang warga Negara asing yang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana, termasuk namun tidak terbatas pada tindak pidana narkotika yang tergolong sebagai extra ordinary crime, masih dapat dengan mudah kembali ke tengah masyarakat Indonesia dan tidak jarang mengulangi perbuatannya lagi. Sungguh suatu fenomena sosial yang sangat ironis dan tidak dapat dibiarkan terus terjadi. Padahal setelah mencermati kondisi situasional Negara Republik Indonesia dewasa ini peredaran Narkotika secara melawan hukum telah mencapai titik kulminasi, di mana dari yang semula hanya merupakan pasar peredaran gelap narkoba telah meningkat menjadi negara produsen berbagai jenis Narkoba. Kondisi ini terlihat dari adanya pabrik-pabrik Narkoba berskala internasional yang berhasil dibongkar oleh para aparat penegak hukum, khususnya Badan Narkotika Nasional (BNN). Terkait dengan pelaksanaan nasib pasal yang terabaikan ini, maka paling tidak terdapat dua hal yang harus diselesaikan secara paripurna. Pertama, siapakah yang harus menjadi penggerak dalam menegakkan eksistensi ketentuan pasal ini? Kedua adalah mengenai mekanisme pelaksanaan pasca ditegakkannya pasal tersebut? Peran Aktif Hakim Hakim sebagai salah satu penegak hukum di negeri ini adalah pihak yang memiliki kewajiban untuk menunjukkan Integritas dan Kapabilitasnya dalam menengakkan setiap ketentuan aturan hukum positif yang ada guna menciptakan nilai Kepastian, Kemanfaatan dan Keadilan hukum yang hakiki bagi masyarakat, serta bukan sebaliknya dengan mengabaikan kekeliruan penegakkan hukum yang selama ini terjadi. Gustav Radbruch dan Satjipto Rahardjo pernah mengungkapkan bahwa memang tidak dapat dipungkiri kerap kali terjadi ketegangan di antara yang ketiga nilai tersebut yang dikarenakan adanya tuntutan yang berbeda-beda. Begitu pula dengan Taverne yang mengatakan bahwa dengan Undang-Undang yang buruk sekalipun, maka dengan kualitas seorang Hakim yang jujur dan cerdas, ia dapat menciptakan suatu Putusan yang adil. Mengatasi ketidakserasian tersebut perlu dilakukan distribusi secara langsung di antara ketiga nilai aquo, perlu dilakukan pengujian di bidang-bidangnya masing-masing, yakni: bagi Keadilan dilakukannya pengujian mengenai sifat hukum di dalam aturan itu, sedangkan tentang Kemanfaatan ditentukan apakah isi dari aturan tersebut mengandung unsur yuridis, dan yang terakhir terhadap Kepastian perlu diuji validitasnya, sehingga ketiga nilai tersebut dapat secara simultan mengatur hukum di segala aspek. Setelah melewati tahapan tersebut, diharapkan ketiga nilai yang terkadang bersinggungan itu akan mampu mengatur kehidupan masyarakat secara bersama-sama dalam konteks penegakkan hukum secara konkrit berdasarkan setiap patokan formal yang dapat diketahui dari berbagai perumusan dalam setiap aturan hukum yang ada, tanpa mengurangi pemahaman terhadap nilai-nilai sosiologis di masyarakat. Dalam konteks Budaya Hukum Internal (Internal Legal Culture) yang merupakan budaya hukum para penegak hukum, khususnya Hakim, maka legal culture dari seorang Hakim ibarat mesin penggerak bagi para Hakim untuk bertindak sebagai aktor dalam memutuskan suatu perkara, termasuk eksistensi aturan hukum positif yang selama ini luput dari perhatian para penegak hukum, sehingga jika terdapat ketentuan hukum positf yang belum dijalankan adalah tugas dan kewajiban Hakim untuk menegakkan ketentuan tersebut secara tegas melalui Putusannya. Selanjutnya terkait dengan problematika mekanisme pelaksanaan ketentuan pasal perundang-undangan yang selama ini terabaikan, baik dilakukan secara sengaja maupun tidak, dan telah dicantumkan melalui Putusan Hakim, maka sesungguhnya hal tersebut tentunya bukanlah hal yang terlampau sulit untuk direalisasikan, sehingga harus dijadikan polemik secara berlebihan untuk diperdebatkan. Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 30 ayat (1) huru B Undang-Undang RI Nomor 16 RI Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia telah secara eksplisit menentukan bahwa Jaksa memiliki tugas untuk melaksanakan setiap putusan pengadilan dalam perkara pidana yang telah Berkekuatan Hukum Tetap. Adapun terhadap mekanisme Pengusiran dan Penolakannya untuk masuk ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia, maka menurut hemat penulis, pihak Kejaksaan berkoordinasi dengan pihak Lembaga Kemasyarakatan dan Imigrasi segera setelah orang bersangkutan selesai menjalani masa pidananya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Melalui sistem penegakkan hukum yang bersifat integral tersebut, khususnya terhadap kejahatan Narkotika yang telah dikasifikasikan sebagai extra ordinary crime dapat berjalan secara optimal, sekaligus memberikan detterent effect kepada setiap warga negara asing yang sedang berada di dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia untuk lebih mentaati dan menghormati setiap aturan hukum positif di Indonesia, termasuk namun tidak terbatas pada ketentuan perundang-undangan tentang Narkotika. Khusus terhadap para aparat penegak hukum di Indonesia, maka melalui tulisan ini penulis menghimbau agar tetap dapat menjunjung tinggi rasa nasionalisme dan integritas kita sebagai Bangsa Indonesia dengan tidak tergiur akan godaan dengan bujuk rayu dalam segala bentuk dari para warga Negara asing yang melakukan tindak pidana di Indonesia, apalagi terlibat dalam di dalamnya, dengan menunjukkan sikap zero tolerance terhadap setiap warga negara asing yang melakukan tindak pidana di Indonesia, tanpa mengurangi prinsip universal equality before the law yang mengharuskan memperlakukan setiap orang sama di hadapan hukum.