Senin, 12 Juli 2010

“EPISODE BARU KONTROVERSI PK”

Layaknya serial sinetron di televisi, kontroversi tentang lembaga peninjauan kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa (buitengewone rechtsmiddelen) di dalam sistem hukum Indonesia akan segera memasuki “episode baru.” Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dan melelahkan perihal legal standing dari pihak Kejaksaan untuk melakukan upaya hukum PK, kini muncul problematika baru terkait dengan salah satu pranata hukum acara pidana tersebut, yaitu: mengenai substansi dan jenis putusan yang terhadapnya dapat dilakukan upaya hukum PK, beserta akibat hukumnya.
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan secara tegas dan limitatif menentukan bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat untuk mengajukan upaya hukum PK kepada Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Demikian pula dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak pernah secara tegas memperbolehkan Jaksa untuk melakukan upaya hukum PK.
Kendati demikian, Mahkamah Agung sebagai lembaga yang dianggap paling mengetahui hukum (curia novit jus) melalui beberapa putusannya yang sudah menjadi yurisprudensi, telah dapat menerima kejaksaan sebagai pihak yang memiliki legal standing untuk melakukan upaya hukum PK. Hal ini haruslah dihormati dan dipandang sebagai bentuk rechtshepping yang memang diakui keberadaannya dan diperbolehkan untuk dilakukan oleh para hakim di dalam civil law system, serta diakui pula sebagai salah satu sumber hukum formal di dalam sistem hukum Indonesia. Melalui rubrik ini (Sinar Harapan, tanggal 23 Juli 2009) penulis pernah mengusulkan agar penerbitan PERMA yang di dalamnya mengatur tentang pengajuan upaya hukum PK oleh Jaksa dapat dipergunakan sebagai alternatif solusi, dalam rangka melengkapi kekurangan aturan di dalam hukum acara.
Selain daripada itu, fenomena lain dari eksistensi lembaga PK yang mengemuka akhir-akhir ini adalah tentang jenis putusan yang dapat diajukan upaya hukum luar biasa tersebut. Istilah “terpidana” di dalam ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut menunjukkan bahwa putusan yang terhadapnya dapat diajukan PK adalah vonnis berupa pemidanaan. Lebih tegas lagi bahwa upaya hukum PK hanya dapat dilakukan terhadap putusan yang dijatuhkan setelah melalui proses pembuktian di persidangan, di mana dari tahapan tersebut majelis hakim secara sah memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan delik yang didakwakan kepadanya. Seharusnya PK tidak dapat dilakukan terhadap putusan-putusan yang bersifat administratif ataupun prosedural. Namun, harus diakui bahwa memang KUHAP yang ada saat ini belum secara expressis verbis mengatur hal tersebut. Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung hanya memberikan limitasi terhadap beberapa jenis putusan yang tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi, tanpa mengatur lebih lanjut mengenai upaya hukum PK.


Sebagaimana layaknya setiap upaya hukum yang dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan dalam suatu perkara di pengadilan, maka pada akhirnya akan berujung pada sebuah putusan pengadilan, baik yang bersifat mengabulkan upaya hukum tersebut ataupun sebaliknya. Demikian pula dengan upaya hukum PK yang dilakukan oleh Jaksa. Terlepas dari problematika legal standing dari pihak Kejaksaan yang masih dapat diperdebatkan itu, seharusnya ketika Jaksa sudah diakui sebagai pihak yang berkompeten untuk melakukan upaya hukum PK, maka secara mutatis mutandis pihak Kejaksaan harus pula tunduk pada ketentuan normatif yang berlaku bagi upaya hukum PK, dalam hal ini pelaksanaan putusan hakim yang tidak dapat ditangguhkan dengan adanya upaya hukum luar biasa tersebut. Hal ini telah pula secara tegas diatur, baik melalui Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa permintaan peninjauan kembali terhadap suatu putusan, tidak menangguhkan ataupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut ataupun berdasarkan Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah dan ditambah oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia secara tegas menentukan bahwa jaksa memiliki tugas untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan turut menyelenggarakan pengamanan kebijakan penegakan hukum. Secara konsepional, penegakan hukum merupakan upaya penyesuaian antara nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat dengan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam perundang-undangan. Terlebih lagi bagi Jaksa Agung sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan, secara khusus diberikan tugas untuk mengefektifkan penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang.
Dengan demikian, tidak ada alasan ataupun landasan hukum bagi pihak Kejaksaan yang dapat dijadikan sebagai argumentasi, selain daripada melaksanakan suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kendati terhadap putusan yang bersangkutan sedang dilakukan upaya hukum PK, seperti yang telah diperintahkan oleh Undang-Undang.

1 komentar: