Senin, 12 Juli 2010

PERMA MENANTI REVISI UU NOMOR 10 TAHUN 2004

Internal Badan Legislasi DPR RI saat ini tengah membahas revisi terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang sejak tanggal 1 November 2004 menjadi pedoman dalam membentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selama kurang-lebih lima tahun sejak dilaksanakannya undang-undang tersebut cukup mengundang berbagai kontroversi, khususnya ketentuan Pasal 7 ayat (4) beserta dengan Penjelasannya yang mengakui keberadaan beberapa peraturan sebagai perundang-undangan sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tanpa menempatkannya di dalam hierarki perundang-undangan.
Salah satu peraturan yang terdapat di dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) undang-undang aquo adalah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang telah diterbitkan oleh Mahkamah Agung sejak tahun 1954, berdasarkan delegasi kewenangan yang diberikan oleh Pasal 131 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kewenangan ini digantikan oleh ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Secara historis, delegasi kewenangan yang diberikan oleh lembaga legislatif kepada Mahkamah Agung tersebut bertujuan untuk mengisi kekosongan ataupun melengkapi kekurangan hukum acara peradilan yang terdapat di dalam undang-undang, karena pada awal kemerdekaan Indonesia belum memiliki ketentuan hukum acara yang dapat mengadaptasi perkembangan masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa sesungguhnya kewenangan regeling yang dimiliki oleh Mahkamah Agung adalah bersifat sementara. Namun dalam perkembangannya, kewenangan mengatur oleh Mahkamah Agung masih tetap dipertahankan, bahkan dilegitimasi melalui beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah yang secara tegas memerintahkan agar pelaksanaan lebih lanjut dari kedua perundang-undangan tersebut diatur melalui PERMA. Bertolak dari beberapa ketentuan normatif tersebut, penulis berpandangan bahwa sesungguhnya terdapat political will dari pembentuk undang-undang untuk memberikan kewenangan regeling kepada Mahkamah Agung secara permanen.
Berkaitan dengan fungsi “mengatur” dari sebuah lembaga pemerintahan, C. van Vollenhoven berpendapat bahwa fungsi tersebut adalah fungsi untuk membuat peraturan yang tidak hanya secara formil, tetapi juga dalam arti materiil, yaitu: setiap peraturan yang memiliki daya ikat terhadap setiap orang, sehingga kewenangan membuat perundang-undangan tidaklah murni merupakan monopoli dari lembaga legislatif. Demikian pula menurut Hans Kelsen yang berpendapat bahwa lembaga legislatif tidak pernah memonopoli pembuatan norma-norma umum, tetapi hanya menempati posisi tertentu yang lebih disukai, sehingga pengadilan juga berkompetensi untuk menjalankan fungsi legislatif.
Mengakui keberadaan PERMA sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan, tanpa menempatkanya di dalam hierarki peraturan perundang-undangan mempunyai dua dampak. Di satu sisi bersifat positif, karena merupakan suatu kemajuan untuk mengakui secara formal PERMA sebagai bagian dari sistem perundang-undangan nasional, tetapi di sisi lain hal tersebut justru bertentangan dengan konsep dasar dibentuknya undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yakni: terciptanya suatu tertib pembentukan peraturan perundang-undangan dan kekuatan hukumnya yang bersifat hierarkis, sebagai salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional.
Sebagai peraturan yang diterbitkan untuk memperlancar jalannya peradilan, terkadang PERMA memiliki ciri sebagai suatu perundang-undangan, yaitu: mengikat publik, sehingga terhadap peraturan yang berkarakteristik demikian, tetapi tidak dimasukkan ke dalam hierarki perundang-undangan akan menjadikan peraturan tersebut tidak dapat dikontrol. Oleh karenanya, penulis merekomendasikan bahwa kelak di dalam revisi terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dilakukan pengaturan secara tegas antara peraturan yang dapat dikategorikan sebagai perundang-undangan dan peraturan yang tidak, sehingga bagi peraturan telah secara tegas diakui sebagai perundang-undangan seharusnya dimasukkan di dalam hierarki perundang-undangan.
Menghubungkan PERMA dengan hierarki dan jenis perundang-undangan lain yang terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka penulis berpendapat bahwa seharusnya PERMA ditempatkan sederajat dengan Peraturan Presiden, mengingat terdapatnya persamaan di dalam materi muatan di antara keduanya, yaitu: sebagai peraturan yang melaksanakan perintah undang-undang dan ketentuan peraturan pemerintah.
Dengan demikian, sosialisasi tentang keberadaan PERMA sebagai suatu perundang-undangan menjadi mutlak diperlukan guna memenuhi asas publisitas yang disyaratkan bagi suatu peraturan perundang-undangan, serta tata cara pembentukan PERMA yang seharusnya selaras dengan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan lainnya.

PERMA dan Judicial Review
Sebagai konsekuensi logis dari diakuinya PERMA sebagai peraturan yang bersifat perundang-undangan, serta tidak adanya perundang-undangan lain yang mereservasi kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan itu, maka terhadap PERMA harus pula dapat dilakukan judicial review. Namun harus pula diakui bahwa melakukan judicial review terhadap PERMA akan bertentangan dengan the principles of natural justice, khususnya nemo judex in sua causa yang melarang setiap orang untuk menjadi hakim atas perkaranya sendiri. Namun sebagai Hukum Dasar, Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 telah secara tegas mengamanatkan bahwa Mahkamah Agung yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Dalam mengatasi adanya pertentangan norma hukum terhadap konstitusi, pada tahun 1803 mantan Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat John Marshall di dalam bagian pertimbangan hukumnya ketika mengadili perkara William Marbury vs. Madison yang merupakan awal dari pelaksanaan judicial review di Amerika serikat, berpendapat bahwa sudah merupakan salah satu tujuan konstitusi untuk mendefinisikan dan membatasi kekuasaan pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang tidak dapat diperbolehkan untuk menerbitkan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi, apabila konstitusi berlaku sebagai hukum yang lebih tinggi. Pengadilan menghindari untuk memilih di antara konsitusi dan undang-undang yang bertentangan, dalam hal keduanya relevan dengan suatu kasus, di mana pengadilan tersebut diminta untuk memutuskan. Mengingat konstitusi adalah hukum tertinggi, hakim tidak mempunyai pilihan lain, selain memilih konstitusi untuk menolak mempengaruhi undang-undang.
Kendati demikian, apabila politik hukum negara menghendakinya, maka terkait kewenangan Mahkamah Agung RI untuk melakukan judicial review terhadap PERMA yang merupakan produknya sendiri, paling tidak terdapat dua alternatif solusi yang dapat dilakukan, yaitu: Pertama, mempertegas kewenangan Mahkamah Agung didalam melakukan judical review, termasuk terhadap PERMA yang dapat dilakukan pula melalui revisi terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung. Kedua, melakukan amandemen terhadap ketentuan Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 dan melimpahkan kewenangan untuk menguji secara materiil setiap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang kepada lembaga lain, misalnya: Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar